Sabtu, 19 Desember 2009

"Nu Gareulis Ti Tasik"

BUKAN hanya kelom geulis, kerajinan tempo dulu yang berkembang di Kota Tasikmalaya. Ada juga kerajinan lainnya, yaitu payung geulis.

Pada umumnya, orang membayangkan, payung diciptakan untuk menaungi kita dari terpaan hujan. Tapi tidak dengan payung geulis. Payung yang jadi produk kebanggaan dan salah satu simbol kota Tasikmalaya ini justru pantang terkena gerimis, apalagi hujan. Payung itu bisa saja menepis gerimis, tapi pasti akan cepat rusak karena hanya terbuat dari kertas. Payung geulis memang berbeda dengan payung umumnya. Payung ini sebenarnya hanya untuk hiasan di rumah atau kantor-kantor.

Dahulu mojang (gadis) Tasikmlaya yang cantik berkebaya, tak akan sempurna bila tidak menggenggam payung jenis ini, untuk melindungi wajah cantik dari sengatan sinar matahari. Dari situ munculah istilah payung geulis, artinya payung yang bikin penampilan tambah geulis atau cantik.

Apa yang membuat mojang Tasik melengkapi diri dengan payung geulis. Perhatikan baik-baik payung kertas ini. Segera saja terlihat keindahan memancar dari sana. Keunikan payung geulis pada lukisan bunga warna-warni yang mendekorasi ruang-ruang pada lapisan penutup. Lukisan ini dikerjakan secara manual oleh tangan-tangan terampil mojang Tasik yang mengekspresikan cinta dan hasratnya dalam membentuk aneka bunga. Di tangan mojang Tasik, payung geulis menjadi karya seni lukis yang mengagungkan keindahan.

Sayang, kini tak banyak mojang Tasik yang terlihat berkebaya sambil menggenggam payung geulis. Modernisme telah mengubah mode dan fashion hampir di seluruh pelosok bumi. Eksistensi payung geulis pun menghadapi tantangan.

Hanya saja, bukan urang Tasik bila tak punya cara cerdik. Payung geulis yang tak lagi dijadikan kelengkapan mode lalu digeser fungsinya sebagai wahana ekspresi seni yang layak dikoleksi. Dengan cara cerdik seperti ini, payung geulis tetap lestari meski jumlah penciptanya dari hari ke hari semakin sedikit.

Bisnis payung geulis pun sempat bertahan lama. Payung yang pernah berjaya sejak tahun ’50-an itu, saat ini tinggal empat unit usaha yang menggeluti payung geulis. Jumlah pekerja seni yang satu ini, mencapai 37 orang. Mereka adalah kaum ibu yang tetap teguh melestarikan karya seni. Membeli payung geulis berarti mengoleksi karya seni.

Padahal kalau menengok beberapa dekade ke belakang, payung geulis, tidak saja dipasarkan di dalam negeri, tapi sempat ekspor ke Malaysia, Singapura, bahkan ke Belanda.

Di sentranya, yaitu daerah Babakan Payung, Kota Tasikmalaya, dulu sebagian besar warganya, bekerja di usaha kerajinan tersebut. Namun, sekali lagi sekarang meredup, karena banyak kendala, termasuk dalam bidang pemasaran.

Upaya menghidupkan pemasaran payung geulis, sering dilakukan pelaku bisnis di Tasikmalaya. Misalnya, seorang pengusaha toko swalayan berupaya menyediakan tempat bertemunya antara calon pembeli dan penjual payung geulis.

Namun upaya itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Keberadaan pusat kerajinan dan oleh-oleh Kota Tasikmalaya di area komplek Plaza Asia hingga kini belum memberikan kontribusi sesuai harapan.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Kota Tasikmalaya, berusaha ikut memasarkan lewat internet."Kita mempromosikan lewat internet, ternyata mulai berhasil. Ada warga Spanyol yang memesan payung geulis. Untuk pengamanan, karena transaksi lewat internet, kami minta uang muka lima puluh persen," tutur Siti dari penyuluh Disperindag, Kota Tasikmalaya.

Menurut perajin "Payung Geulis Mandiri" Yayat Sudrajat, asal Kel. Panyingkiran Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya, pesanan dari Spanyol, buah pemasaran lewat internet masih kecil. Omzetnya baru Rp 500.000,00-an, melalui internet.

Selama ini, Yayat hanya mengandalkan promosi lewat pesanan saja, baik di Tasikmalaya, Bandung, Jakarta, Surabaya maupun Sumatra. "Pemasaran yang dikerjakan baru sebatas menerima pesanana saja dengan omzet kurang dari Rp 100 juta per tahun," katanya.

Selain kendala promosi, masalah yang dihadapi para perajin yakni harga-harga baku yang tidak stabil dan naik. "Harga cat, minyak tanah, dan kertas terus merangkak naik. Padahal keperluan bahan baku tidak bisa dihindari," katanya.

Solusi untuk menyiasati itu, pihaknya terpaksa mengurangi jumlah pembelian bahan baku. Dengan mempekerjakan tiga belas orang, Yayat berusaha memenuhi pesanan sekitar dua puluh unit atau satu kodi per hari. Sebagian produksi payung geulis dilakukan di rumah pekerja. Harga jualnya, mulai dari Rp 20.000,00 sampai Rp 100.000,oo/buah. Pemesan biasa perhotelan atau salon kecantikan. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk melestarikan kerajinan itu. (Cecep S.A./"PR")***

Sumber :

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=69809

Tidak ada komentar:

Posting Komentar